Permentan Tentang Larangan Perdagangan Ikan Napoleon Perlu Segera Direvisi Workshop Perlindungan Ikan Napoleon
Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus)
merupakan ikan karang berukuran besar anggota dari familia Labridae,
dengan ukuran bisa mencapai 2 m dan berat 190 kg. Ikan ini mempunyai
pola reproduksi hermaprodite protogini dengan sebaran di wilayah
perairan india-pasifik. Ikan napoleon merupakan jenis ikan karang yang
mempunyai daya tarik menarik bagi para penyelam untuk menikmati wisata
alam bawah laut. Namun akibat dampak penangkapan berlebih untuk
perdagangan ikan karang hidup, ikan napoleon mengalami penurunan
populasinya di alam. Penangkapan ikan napoleon umumnya menggunakan racun
sianida dan merusak ekosistem terumbu karang.
Menurut
Dr. Toni Ruchimat, Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI),
sejak 15 tahun lalu pada saat beliau menjadi peneliti di Balai Besar
Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol dan melakukan penelitian tentang
pembenihan ikan napoleon, ika ini sudah sangat jarang ditemukan. “Oleh
karena itu, terkait upaya pengelolaan napoleon, kita harus melakukan
kegiatan monitoring populasi, pengembangbiakan, dan perlindungannya”
katanya disela-sela pembukaan Workshop Fasilitasi Penetapan Status
Perlindungan Ikan Napoleon, Jumat (8/7), bertempat di Hotel Blue Sky
Jakarta Pusat. Beliau mengatakan, sering terjadi pelanggaran perdagangan
ikan napoleon, meskipun sudah ada pengaturannya melalui Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 375/Kpts/IK.250/95 tentang Larangan Penangkapan
Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) dan dengan Keputusan
Dirjen Perikanan Nomor HK.330/Dj.8259/95 tentang ukuran, lokasi dan tata
cara penangkapan ikan Napoleon Wrasse. Menurut S. Alina Tampubolon,
Direktur Sumberdaya Kelautan Ditjen PSDKP, peraturan ini dianggap sudah
tidak efektif karena Undang-Undang yang menaunginya (UU No. 9/1985)
sudah tidak berlaku, dan kelembagaannya (Dirjen Perikanan) sudah tidak
ada. Sehingga perlu adanya suatu review terhadap peraturan tersebut yang
didukung oleh scientific review dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sebenarnya
hasil survey IUCN-LIPI yang dilakukan Yvone Sadovy dan Sasanti pada
tahun 2005 di Sulut, Bali, Raja Ampat, dan NTT menunjukan bahwa di
habitat yang mendapat tekanan (target penangkapan) sangat tinggi, ikan
napoleon sangat jarang ditemukan, akan tetapi pada saat ikan tersebut
tidak menjadi ikan target nelayan para penyelam masih dapat menemukan
spesies tersebut. Hasil survey menunjukan bahwa tingkat kepadatan
napoleon di kangean-Bali hanya 0,04 per ha, Bunaken-Sulut 0, 38 per ha,
Raja Ampat 0,86 per ha, NTT 0,18 per ha, maratua 0,15 per ha, Banda 1,6
per ha. Menurut Sadovy dalam pemaparannya, akibat dampak penangkapan
berlebih untuk perdagangan ikan karang hidup, ikan napoleon rentan (vulnerable)
mengalami kepunahan. Oleh karena itu akibat penurunan drastis
diberbagai tempat menyebabkan ikan napoleon dimasukkan ke dalam daftar
merah IUCN (Endangered) pada tahun 2004 dan appendix II CITES pada tahun 2005.
Ikan Napoleon (Cheilunus undulatus)
merupakan salah satu ikan karang besar yang unik, salah satu keunikan
ikan napoleon adalah lingkar bola matanya yang dapat melihat arah sudut
pandang sampai 180 derajad. Ikan Napoleon merupakan ikan yang memerlukan
waktu lama untuk mencapai usia matang reproduktif. Ikan napoleon
menjadi matang seksual pada usia 5 sampai 7 tahun (pada ukuran 40-60
cm). Walaupun bisa mencapai ukuran sangat besar atau usia yang cukup
panjang, namun kemampuan ikan Napoleon dewasa dalam menghasilkan
keturunan rata-rata sangat lambat. Semua individu awalnya perempuan dan
mengalami perubahan menjadi jantan antara ukuran 55 dan 75 cm” kata
Yvone di pemaparanya, dan menurutnya ikan jantan sangat jarang di alam.
Sehingga apabila dilakukan penangkapan pada ukuran tersebut, individu
napoleon tidak sempat melakukan pemijahan atau reproduksi.
Ikan
napoleon merupakan jenis ikan karang yang mempunyai daya tarik menarik
bagi para penyelam untuk menikmati wisata alam bawah laut. Penangkapan
ikan napoleon yang merusak ekosistem terumbu karang jika dibiarkan terus
berlanjut, akan memberikan ancaman terhadap keberlangsungan sumberdaya
ikan napoleon dan ikan karang hidup lainnya (Kerapu, ikan hias dll),
serta keberlangsungan kegiatan pariwisata bawa laut (wisata selam). Oleh
karena itu workshop yang dihadiri perwakilan dari lingkup Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Pengusaha, Perguruan
Tinggi, LSM dan Lembaga Penelitian ini merekomendasikan ”Perlu adanya
standarisasi metode dalam pelaksanaan survey populasi ikan napoleon di
alam, yang ditetapkan oleh pemerintah dan Perlu segera adanya review dan
revisi terhadap regulasi terkait ikan napoleon melalui penetapan status
perlindungan dengan opsi-opsi perlindungan terbatas seperti pembatasan
ukuran tangkap, kawasan/lokasi penangkapan, penghentian sementara upaya
tangkap atau perlindungan mutlak (moratorium)”. Ikan Napoloen di Negara
Malaysia, dan Filipina ,sudah tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan,
apakah Indonesia akan melakukan hal serupa? Tentunya butuh dukungan
ilmiah dan analisis kebijakan terkait kebijakan perlindungan penuh
(moratorium) ikan napoleon. Tapi pastinya untuk efektifitas pengelolaan
dan pengawasan ikan napoleon, permentan tentang larangan ikan napoleon
perlu segera direvisi dengan pengaturan yang berlaku pada undang-undang
No. 45/2009, PP No. 60/2007, dan Permen KP No. 03/2010. (PBS/KKJI)