Senin, 29 Oktober 2012

UPAYA PENANGKAPAN IKAN NAPOLEON

Permentan Tentang Larangan Perdagangan Ikan Napoleon Perlu Segera Direvisi Workshop Perlindungan Ikan Napoleon

Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) merupakan ikan karang berukuran besar anggota dari familia Labridae, dengan ukuran bisa mencapai 2 m dan berat 190 kg. Ikan ini mempunyai pola reproduksi hermaprodite protogini dengan sebaran di wilayah perairan india-pasifik. Ikan napoleon merupakan jenis ikan karang yang mempunyai daya tarik menarik bagi para penyelam untuk menikmati wisata alam bawah laut. Namun akibat dampak penangkapan berlebih untuk perdagangan ikan karang hidup, ikan napoleon mengalami penurunan populasinya di alam. Penangkapan ikan napoleon umumnya menggunakan racun sianida dan merusak ekosistem terumbu karang.
Menurut Dr. Toni Ruchimat, Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), sejak 15 tahun lalu pada saat beliau menjadi peneliti di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol dan melakukan penelitian tentang pembenihan ikan napoleon, ika ini sudah sangat jarang ditemukan. “Oleh karena itu, terkait upaya pengelolaan napoleon, kita harus melakukan kegiatan monitoring populasi, pengembangbiakan, dan perlindungannya” katanya disela-sela pembukaan Workshop Fasilitasi Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon, Jumat (8/7), bertempat di Hotel Blue Sky Jakarta Pusat. Beliau mengatakan, sering terjadi pelanggaran perdagangan ikan napoleon, meskipun sudah ada pengaturannya melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 375/Kpts/IK.250/95 tentang Larangan Penangkapan Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) dan dengan Keputusan Dirjen Perikanan Nomor HK.330/Dj.8259/95 tentang ukuran, lokasi dan tata cara penangkapan ikan Napoleon Wrasse. Menurut S. Alina Tampubolon, Direktur Sumberdaya Kelautan Ditjen PSDKP, peraturan ini dianggap sudah tidak efektif karena Undang-Undang yang menaunginya (UU No. 9/1985) sudah tidak berlaku, dan kelembagaannya (Dirjen Perikanan) sudah tidak ada. Sehingga perlu adanya suatu review terhadap peraturan tersebut yang didukung oleh scientific review dan dapat dipertanggung jawabkan.
Sebenarnya hasil survey IUCN-LIPI yang dilakukan Yvone Sadovy dan Sasanti pada tahun 2005 di Sulut, Bali, Raja Ampat, dan NTT menunjukan bahwa di habitat yang mendapat tekanan (target penangkapan) sangat tinggi, ikan napoleon sangat jarang ditemukan, akan tetapi pada saat ikan tersebut tidak menjadi ikan target nelayan para penyelam masih dapat menemukan spesies tersebut. Hasil survey menunjukan bahwa tingkat kepadatan napoleon di kangean-Bali hanya 0,04 per ha, Bunaken-Sulut 0, 38 per ha, Raja Ampat 0,86 per ha, NTT 0,18 per ha, maratua 0,15 per ha, Banda 1,6 per ha. Menurut Sadovy dalam pemaparannya, akibat dampak penangkapan berlebih untuk perdagangan ikan karang hidup, ikan napoleon rentan (vulnerable) mengalami kepunahan. Oleh karena itu akibat penurunan drastis diberbagai tempat menyebabkan ikan napoleon dimasukkan ke dalam daftar merah IUCN (Endangered) pada tahun 2004 dan appendix II CITES pada tahun 2005.
Ikan Napoleon (Cheilunus undulatus) merupakan salah satu ikan karang besar yang unik, salah satu keunikan ikan napoleon adalah lingkar bola matanya yang dapat melihat arah sudut pandang sampai 180 derajad. Ikan Napoleon merupakan ikan yang memerlukan waktu lama untuk mencapai usia matang reproduktif. Ikan napoleon menjadi matang seksual pada usia 5 sampai 7 tahun (pada ukuran 40-60 cm). Walaupun bisa mencapai ukuran sangat besar atau usia yang cukup panjang, namun kemampuan ikan Napoleon dewasa dalam menghasilkan keturunan rata-rata sangat lambat. Semua individu awalnya perempuan dan mengalami perubahan menjadi jantan antara ukuran 55 dan 75 cm” kata Yvone di pemaparanya, dan menurutnya ikan jantan sangat jarang di alam. Sehingga apabila dilakukan penangkapan pada ukuran tersebut, individu napoleon tidak sempat melakukan pemijahan atau reproduksi.
Ikan napoleon merupakan jenis ikan karang yang mempunyai daya tarik menarik bagi para penyelam untuk menikmati wisata alam bawah laut. Penangkapan ikan napoleon yang merusak ekosistem terumbu karang jika dibiarkan terus berlanjut, akan memberikan ancaman terhadap keberlangsungan sumberdaya ikan napoleon dan ikan karang hidup lainnya (Kerapu, ikan hias dll), serta keberlangsungan kegiatan pariwisata bawa laut (wisata selam). Oleh karena itu workshop yang dihadiri perwakilan dari lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kehutanan, Pengusaha, Perguruan Tinggi, LSM dan Lembaga Penelitian ini merekomendasikan ”Perlu adanya standarisasi metode dalam pelaksanaan survey populasi ikan napoleon di alam, yang ditetapkan oleh pemerintah dan Perlu segera adanya review dan revisi terhadap regulasi terkait ikan napoleon melalui penetapan status perlindungan dengan opsi-opsi perlindungan terbatas seperti pembatasan ukuran tangkap, kawasan/lokasi penangkapan, penghentian sementara upaya tangkap atau perlindungan mutlak (moratorium)”. Ikan Napoloen di Negara Malaysia, dan Filipina ,sudah tidak boleh ditangkap dan diperdagangkan, apakah Indonesia akan melakukan hal serupa? Tentunya butuh dukungan ilmiah dan analisis kebijakan terkait kebijakan perlindungan penuh (moratorium) ikan napoleon. Tapi pastinya untuk efektifitas pengelolaan dan pengawasan ikan napoleon, permentan tentang larangan ikan napoleon perlu segera direvisi dengan pengaturan yang berlaku pada undang-undang No. 45/2009, PP No. 60/2007, dan Permen KP No. 03/2010. (PBS/KKJI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar